SEJARAH 4 IMAM MADZAB, KEISTIMEWAAN DAN CARA MASING-MASING DALAM MENENTUKAN HUKUM. (HANAFI,MALIKI,SYAFI’I DAN HAMBALI)
SEJARAH
4 IMAM MADZAB, KEISTIMEWAAN DAN CARA MASING-MASING DALAM MENENTUKAN HUKUM. (HANAFI,MALIKI,SYAFI’I
DAN HAMBALI)
Ada baiknya kita
mengenal para Imam Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
Imam Hambali yang telah menyusun kitab Fiqih bagi kita semua.
Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Nu’man bin Tsabit bin
Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت),
lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو
حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di
Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Imam Malik
Mālik ibn Anas bin
Malik bin ‘Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin
Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani),
(Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah
pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar
ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki.
Biografi
Abu abdullah Malik bin
Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr
bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh.
sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat.
al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik
dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik
dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik
dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik
berkata :”aku dilahirkan pada 93 H”. dan inilah riwayat yang paling benar
(menurut al-Sam’ani dan ibn farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut
menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari
seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30
naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah
riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam
buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.
[sunting]Pujian Ulama untuk Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan
berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di
Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi’i berkata : “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi’in “.
Yahya bin Ma’in berkata :”Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits”
Ayyub bin Suwaid berkata :”Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya”.
Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i :” apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3] ”
Kitab Al-Muwaththa
Imam as-Syafi’i berkata : “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi’in “.
Yahya bin Ma’in berkata :”Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits”
Ayyub bin Suwaid berkata :”Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya”.
Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i :” apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3] ”
Kitab Al-Muwaththa
Al-Muwaththa bererti
‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum
agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits
yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama
tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu
hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana
Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits.
Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta
menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya
10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang
disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran.
Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan
menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi pernah
berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih
banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam
Malik.”
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
Imam malik jatuh sakit
pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu
ia wafat. sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87 tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87 tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’
Imam Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad
bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil
Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 – Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah
seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i
juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib,
yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek
Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi’i
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi’i
Tulisan di bawah terpaksa juga dihapus.
Bagaimana mungkin Imam Syafi’ie yang
lahir tahun 150 H dan wafat tahun 203 H disebut menolak paham Asy’ariyyah yang
memperkenalkan ajaran Sifat 20 sementara Imam Abu Hasan Al Asy’ari sendiri baru
lahir tahun 260 H atau 57 tahun setelah Imam Syafi’ie meninggal?
Imam Syafi’ie adalah Imam Fiqih. Beda
dengan Imam Asy’ari yang merupakan Imam masalah Tauhid. Kalau seperti itu, maka
Imam Syafi’ie juga jauh dari paham Trinitas Tauhid yang dibawa oleh Muhammad
bin Abdul Wahab yang lahir tahun 1115 Hijriyah:
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah
yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan
dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Sumber: Majalah As-Salaam
Imam Hambali
Sebetulnya ingin mengambil referensi
dari Wikipedia di bawah:
Namun ada yang aneh yang menyatakan
Murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i:
Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah
berguru kepadanya.
Padahal berbagai
literatur yang ada menyebut bahwa guru Imam Syafi’i yang lahir tahun 150 H
adalah Imam Malik (lahir tahun 93 H). Sementara Imam Hambali yang lahir tahun
164 H (14 tahun lebih muda dari Imam Syafi’i) adalah murid dari Imam Syafi’i.
Hubungan Guru dengan
Murid tak akan pernah berubah meski seorang guru bertanya beberapa hal kepada
muridnya. Aneh kan jika Imam Hambali berkata: “Imam Syafi’i itu dulu Guruku.
Namun setelah aku lebih pintar, sekarang Imam Syafi’i jadi muridku” Insya Allah
tidak begitu.
Meski Imam Hambali
adalah seorang Imam yang cerdas, namun pernyataan bahwa murid Imam Hambali
adalah Imam Syafi’i menunjukkan adanya perubahan seenaknya oleh kaum Salafi
Wahabi dalam rangka memuja Imam Hambali yang mereka jadi panutan secara
berlebihan/ghulluw.
===
Imam Hambali
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin
Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin
Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada
diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi
Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan,
orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota
Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal
-menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru
berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan
menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian
bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut
merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah
seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang
anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy,
berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah
meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka
tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang
sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam
Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi.
Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan
kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang
pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban
dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam
kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana
tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan
sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan
mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau
melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh
azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi
beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap
memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang
hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi
pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil
pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau
setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah
tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau
mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah
al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits
pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad
mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau
melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim
al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra
beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits
lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke
Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol
yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan
selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan
faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan
terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits.
Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin
‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid
bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu
dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin
‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi
Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni
pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain
sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40
tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda
telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau
menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur).
Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang
senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan
kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara
itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu)
hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari
beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang
terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun
dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari
hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan
al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran,
tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik
ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud,
kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada
Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah,
kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal,
kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il
ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada
Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar
mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan
berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari
Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu
pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin,
tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui
Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan
perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah
aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi
mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama
dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku
keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota
tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad
bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku
tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya
kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau
pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia
seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan
berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada
kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid
bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada
kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika
menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau
berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa
Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah
seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa
kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi
seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad
termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani
Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah,
dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur
asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah
al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya,
sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit
demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai
penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania,
Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat
berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum
muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka,
seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus,
mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di
bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan
dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang
mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari
pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum
muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah
sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran.
Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu
sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun
ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy
mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah
menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara
yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah
ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah
berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima
pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka.
Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara,
disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah
dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan
pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan
selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu.
Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk
di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak,
bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan
bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota
Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan
terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke
Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana
karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan
bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan
berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari
al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang
dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari
penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka
mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya
dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai
tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di
sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu
beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya
al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap
sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau.
Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih
keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad
dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari
penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan.
Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali
menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan
ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan
kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras.
Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang.
Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk
keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama
kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya.
Selama dua tahun masa pemerintahannya,
ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234,
dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya
larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati
bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para
ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka
demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu.
Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya.
Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu
Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit
selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin
menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai
sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan
hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya
menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan
kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai
beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang
mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih
orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka
yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka
kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada
ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari
kematian kami”.
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang
dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan
diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau
bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari
kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya
itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar
dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan
Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang
laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur
Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya),
dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
Perbedaan Antar Mazhab?
Di antara tonggak
penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di
tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah,
Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar
tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui
eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini
Keempatnya masih utuh
tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas muslimin di muka
bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih mampu melahirkan
para ulama besar di masa sekarang ini.
Berikut sekelumit sejarah keempat mazhab
ini dengan sedikit gambaran landasan manhaj mereka.
1. MazhabAl-Hanifiyah.
Didirikan oleh
An-Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau
berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa,
Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli
sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in.
Mazhab Al-Hanafiyah
sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam
masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para
pengamat dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah:
Karena beliau sangat
berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas
keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya.
Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti
mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
Kurang tersedianya
hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal.
Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di
masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama
semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang
terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
Di kemudian hari,
metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat umat Islam
sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat jauh ke
seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber syariah
Islam. Metodologi mazhab ini menjadi sangat menentukan dalam dunia fiqih di
berbagai negeri.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab ini didirikan
oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi .Berkembang sejak awal di kota
Madinah dalam urusan fiqh.
Mazhab ini ditegakkan
di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah
SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20
dasar; Al-Quran, As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah , perkataan sahabat,
istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u
man qablana .
Mazhab ini adalah
kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali
mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid
di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab mazhab
ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah
anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah
yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan
dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.
3. Mazhab As-Syafi’iyah
Didirikan oleh
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i . Beliau dilahirkan di Gaza Palestina tahun 150
H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H.
Di Baghdad, Imam
Syafi’i menulis madzhab lamanya . Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H
dan menuliskan madzhab baru . Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ‘ilm di
akhir bulan Rajab 204 H.
Salah satu karangannya
adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang
berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak,
imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra’yi dan fiqh ahli
hadits .
Dasar madzhabnya:
Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat
karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil
Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan
penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan
maka ia telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i
adalah nashirussunnah ,”
Kitab “Al-Hujjah” yang
merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu
Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i. Sementara kitab “Al-Umm”
sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir;
Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan
tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku,
maka ia adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
4. Mazhab Al-Hanabilah
Didirikan oleh Imam
Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani . Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana
hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan
mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah,
Yaman, Syam.
Beliau berguru kepada
Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak
mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah
hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru
kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari .
Imam Ahmad adalah
seorang pakar hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan
ke Mesir,”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang
yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal ,”
Dasar madzhab Ahmad
adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah
mursalah, saddudzarai’.
Imam Ahmad tidak
mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya
madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain.
Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih
hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis
mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil
atau munkar.
Di antara murid Imam
Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad
lebih menguasai hadis. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama
aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakr
Al-Khallal , Abul Qasim yang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fiqh
madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni”
karangan Ibnu Qudamah.
Cara Imam
Mazhab Menetapkan Hukum
mazhab
Mazhab
berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih Mazhab
mempunyai dua pengertian yaitu:
Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang
hukum suatu masalah.
Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan
oleh seorang imam
Dari
kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pengertian Mazhab adalah:
“Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu
masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan
demikian,bahwa pengertian bermazhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang
imam tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Orang
yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam
Hanafi, Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di
Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran
masing-masing Imam Mazhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang
cenderung hanya ingin mendalami Mazhab tertentu saja. Hal ini disebabkan,
karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru
yang menganut suatu Mazhab saja.
Menganut
suatu aliran Mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan
hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat
pemikiran-pemikiran yang ada pada Mazhab yang lain yang juga bersumber dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak
fanatik kepada suatu Mazhab.
Andaikata
sukar menghindari kefanatikan kepada suatu Mazhab, sekurang-kurangnya mampu
menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.
Dibawah
ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazhab
A. IMAM HANAFI
Dasar-dasar Mazhab Imam Hanafi dalam
menetapkan suatu hukum.
1. Al
Kitab
Al Kitab
adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk
kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2.
As-Sunnah
As-Sunnah
adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum
(global).
3.
Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan
sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena
menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah
generasinya.
4.
Al-Qiyas
Abu
Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau
perkataan sahabat tidak beliau temukan
5.
Al-Istihsan
6. Urf
Pendirian
beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari
keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang
mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik
dilakukan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama
dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali
kepada Urf manusia.
B. IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar
Mazhab Imam Maliki.
Al-Qur’an
Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
Ijmak para ulama Madinah, tetapi
kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan/tidak diamalkan
oleh para ulama Madinah.
Qiyas
Istishlah (Mashalihul Mursalah)
C. IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar
hukum yang dipakai Imam Syafi’i.
Mengenai
dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya
termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut :
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah
Beliau
mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun
diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi
syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat
ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
3. Ijmak
Dalam
arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
4. Qiyas
Imam
Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum,
juga dalam keadaan memaksa.
5.
Istidlal (Istishhab)
IMAM
AHMAD BIN HAMBALI
Imam
Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada
dasar-dasar sebagai berikut:
Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila
beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang
lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak
memperoleh nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya,
bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini,
dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila
terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang
lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist
Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan
sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau
memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan
pada poin 1-4 diatas.
Demikian
tulisan singkat mengenai Cara Imam Mazhab Menetapkan Hukum, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam
bish-shawab, wassalamu ‘alaikm warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber Perbedaan Antar Mazhab? : http://assunnah.or.id
https://kabarislamia.com/2012/02/11/mengenal-imam-hanafi-imam-malik-imam-syafii-dan-imam-hambali/
Referensi lain:
http://al-badar.net/cara-imam-mazhab-menetapkan-hukum/
Komentar
Posting Komentar